OLEH:
HUSAIN ALBAR
XII-IPA-3
XII-IPA-3
Perjalanan Terindah
Di
kesunyian, alarm berbunyi. Teralunkan musik merdu, terdengar bersemangat
berjudul Sang Pemimpi. Mataku sedikit terbuka, pertanda mimpi indah malam ini
telah usai. Jam menunjukkan pukul 03.00. Aku tetap terbaring, bukan berarti
malas. Kuhayati setiap lirik musik yang kudengarkan, penuh dengan makna. Aku
masih terbaring, kukumpulkan semangatku saat itu. Musik reff terdengar,
semangatku semakin berkumpul. Ku terbangun dan langsung kubuka jendela
kamarku. Angin pagi berhembus menyegarkan, walaupun memang masih gelap. Bibir
ini berbisik, ucapan do’a tanda syukurku atas dibangunkannya jasad ini dari
alam yang tak kukenal. Aku siap melewati hari ini.
Aku
berjalan menuju ruang makan, kulihat ibu telah menyiapkan makan sahur. Hari ini
hari senin, sudah menjadi amalan andalan kami untuk berpuasa setiap hari senin
dan kamis. Ku tersenyum pada ibu, kuteruskan langkahku untuk membasuh muka,
menyegarkan wajah kusutku seusai bangun tidur. Berdua saja kami duduk di depan
meja makan, aku dan ibuku.
“Sudah
siapkah semua barangnya, Nak?” tanya ibuku.
“Tentu
saja sudah, Bu. Tinggal berangkat saja”, jawabku.
“Hati-hati
ya kalau sudah di sana .
Terus hubungi ibu, takut terjadi apa-apa” ucap ibuku, sedikit khawatir.
“Tenang
saja, Bu. Lily bisa jaga diri kok, insya Allah”, ujarku.
“Baguslah
kalau begitu. Seusai shalat subuh, ayah akan langsung mengantarmu ke stasiun”.
Aku
hanya tersenyum dan mengangguk. Kulanjutkan membereskan apa saja yang harus ku bawa.
Aku mungkin terlalu keasyikan, setelah shalat subuh aku malah terdiam dan
merenung. Bersama kesunyian aku membayangkan, mimpiku ternyata bisa terwujud.
Dengan keadaan keluarga yang apa adanya, aku bisa kuliah tanpa mengeluarkan
biaya sedikitpun. Di dalam lamunanku, aku terkejut.
“Neng!”
ucap ayahku dengan kerasnya.
“Iya
Ayah?” jawabku kaget.
“Ayo,
sudah pukul lima .
Nanti terlambat masuk kereta” ucap ayahku cemas.
“Oh,
baiklah Ayah”.
Dengan
menaiki motor yang begitu khas suaranya, kami mulai berangkat. Ibu tak ikut
mengantarku, katanya dia harus menjaga rumah. Lagipula tak bisa bila harus
menaiki motor dengan tiga orang penumpang sambil membawa barang yang cukup
banyak, sungguh hal yang mustahil.
“Jaga
diri baik-baik, Nak. Banyak berdo’a. Tetap semangat, jangan lupa ibadahnya”,
nasehat dari ibuku.
“Baik,
Bu. Do’akan saja Lily semoga semuanya bisa barakah bagi kehidupan Lily” ucapku,
dengan mata yang cukup berkaca-kaca.
“Iya,
Nak. Ibu pasti akan selalu mendo’akanmu. Kalau begitu lekaslah, takut
ketinggalan kereta”, ucap ibuku dengan air matanya yang menetes.
“Kalau
begitu kami berangkat dulu, Bu. Assalamu’alaikum”, ucap ayahku.
“Wa’alaikumsalam”,
jawab ibuku.
Aku
pun bersalaman dengan ibu, begitupun ayah. Air mata membasahi pipi ibu. Aku
mengerti, memang seperti itulah perasaan seorang ibu. Air mataku pun ikut
terjatuh, hatiku luluh. Segera ku bergegas menaiki motor sambil menghapuskan
air mataku. Begitu dinginnya subuh itu. Namun untungnya aku tetap merasakan
kehangatan, dari jaket pemberian ibuku dan dari hangatnya punggung ayahku.
Kereta
beberapa menit lagi berangkat. Aku berlari dengan kencangnya bersama ayahku,
membawa barang yang cukup berat. Tepat di depan pintu kereta aku berdiri.
“Hati-hati
ya Nak. Kalau ada apa-apa hubungi ayah atau ibu. Banyak berdo’a di jalan.
Musafir do’anya sangat mustajab. Kabari ayah kalau sudah sampai”. ucap ayahku
dengan lembutnya.
“Baik,
Ayah. Doakan Lily ya”, ucapku tersenyum, namun dengan air mata yang menetes.
Ayah
mengangguk. Aku masih tetap tersenyum. Tepat saat itu, kereta mulai berjalan.
Aku pun masuk, kucari tempat duduk yang masih kosong, tepat di pinggir jendela.
Kulihat ayahku masih berdiri, menunggu keberangkatan kereta hingga sampai
jauhnya. Aku masih tetap tersenyum bersama linangan air mata. Ayahku, ibuku, dan
juga desa yang kucintai ini pasti akan amat kurindukan. Di dalam hati aku
semakin bertekad, aku harus bisa menggapai cita-citaku dengan baik. Ikhtiar dan
do’a, sudah pasti harus selalu kulakukan.
Perjalanan
di dalam kereta memang amat membuatku nyaman, menurutku. Apalagi dengan duduk
tepat di pinggir jendela. Di pagi hari yang cerah, pemandangan yang indah tentu
sudah sangat cukup untuk menyegarkan penglihatan ini. Asri, indah nan permai.
Inilah salah satu tanda kekuasaanNya. Sesekali ku beranjak dari tempat dudukku,
melangkah menuju pintu kereta. Angin berhembus, menerpa hijab biru mudaku,
menggerakkan bibirku hingga akhirnya dapat tersenyum refleks, tanpa sadar. Di
depan mataku terlihat sawah yang terhampar luas. Langit biru, bersama para awan
dan juga burung yang beterbangan semakin memperindah suasana ini.
“Maaf
Mba, bisakah Anda menyingkir dulu dari sini?”, ucap seorang lelaki berbaju
merah dengan celana jinsnya yang begitu rapi, ditambah dengan sepatu ala
boybandnya berwarna matching dengan kaos merahnya. Aku sedikit ilfeel dengan
gayanya saat berbicara itu. Ditambah gaya
pakaiannya yang seperti orang kota .
Memang tampan, namun raut wajahnya seperti orang yang angkuh. Itulah
pemikiranku, sebagai seseorang yang sederhana.
“Kalau
ga mau, gimana?”, ucapku sinis.
“Maaf
mba, hati-hati kalau berdiri di situ, berbahaya”.
Aku
terdiam. Di hatiku terjadi perdebatan. Aku menganggapnya orang kota yang angkuh, namun setelah kulihat
ternyata ucapannya terasa lembut. Aku bingung, namun saat itu aku lebih memilih
sinis kembali padanya. Orang kota dengan gaya seperti itu pastilah
sombong, dan terkadang selalu menyakiti hati orang-orang yang sederhana,
apalagi perempuan sepertiku. Bila dia memang berlaku baik padaku, dia pasti
memiliki maksud yang tidak baik. Seperti apa yang dikatakan orang-orang di
sekitarku, dan juga sesuai dengan pengalaman pribadiku, bahwa laki-laki yang
terlihat angkuh namun memiliki wajah yang tampan, pastilah dia selalu menyakiti
hati seorang wanita.
Lelaki
itu berkata “Maaf mba, berbahaya berdiri di situ, saya hanya memberi tahu.
Lagipula....”, aku memotong ucapannya.
“Maaf
ya mas, kalau bahaya ya biar saja. Lagipula berbahaya buat saya, bukan buat
Mas!” ucapku semakin sinis.
“Tapi
mba..”
“Tapi
apa? Jangan paksa saya dong!” ucapku dengan lebih sinis lagi.
“Maaf
Mba, silakan jika mau tetap berdiri di situ. Tapi...”, ucapannya dipotong lagi
olehku.
“Tapi
apa?” sentakku. Aku tahu ini tidak baik, tapi aku tetap pada pendirianku yaitu
berlaku sinis kepada laki-laki, apalagi yang belum kukenal.
“Mohon
maaf sekali Mba, saya mau lewat ke gerbong sebelah. Saya sudah ditunggu oleh
teman saya. Sebentar saja Mba, kalau saya sudah lewat, silakan kalau Mba mau
berdiri lagi di situ”, ucapnya dengan sopan.
Aku
cukup malu sebenarnya. Dia begitu lembut padaku, tapi aku malah menyentaknya.
Akupun melangkah menjauhi pintu kereta itu dan kembali ke tempat dudukku. Dia
pun melewat.
“Makasih,
Mba” ucap lelaki itu sambil tersenyum.
Aku
tersenyum kecil. Aku pun melangkah, dalam hati aku masih ingin tetap berdiri di
sana . Kutengok
ke arah belakangku, kulihat lelaki itu malah berdiri di tempat dimana aku
berdiri tadi kemudian tersenyum. Aku sedikit kesal, kemudian akupun
menghampirinya.
“Katanya
mau lewat, nyatanya kamu malah berdiri di situ!” teriakku padanya.
“Oh,
iya maaf Mba. Cuma mau berdiri sebentar, sekarang pun mau ke gerbong sebelah.
sekali lagi maaf ya, Mba” ucapnya dengan begitu ramah. Dia pun berjalan
meninggalkan gerbong yang ku tempati, menuju gerbong sebelah. Aku terdiam. Aku
pun berdiri kembali di pintu kereta sambil melihat pemandangan dari setiap
jalan yang kulewati. Akupun dapat tersenyum kembali dengan melihat semua itu.
Dari
pagi sampai siang, gerbong yang ku tempati memang penuh. Namun ternyata
lama-kelamaan, penumpang satu persatu turun dari kereta. Gerbong mulai kosong,
maklumlah memang tujuan yang ku tuju adalah stasiun pemberhentian akhir, jadi
aku harus tetap duduk di kereta hingga stasiun akhir, yaitu di Malang . Cukup sepi juga. Aku masih tetap asik
melihat pemandangan sambil duduk di kursi dekat jendela kereta. Aku merenung
dan terkadang tersenyum sendiri. Kulihat kembali lelaki berkaos merah tadi,
duduk di dekat pintu gerbong sambil memegang kamera SLRnya. Dia memotret segala
yang ada di sekitarnya, dan dia seperti memotret ke arahku. Rasa suudzon mulai
muncul kembali di dalam hatiku, sepertinya dia hendak mengambil fotoku.
Bagaimana bisa aku membiarkan seseorang yang tak kukenal mengambil foto
wajahku. Aku pun beranjak dari tempatku, dan langsung menghampirinya.
“Kamu
mengambil foto-fotoku? Buat apa, kamu orang asing, berani-beraninya mengambil
fotoku!” ucapku dengan nada yang cukup tinggi. Dia hanya terdiam. Aku pun
merebut SLR di tangannya. Kulihat foto-foto yang tadi dia ambil. Ternyata bukan
fotoku, ada beberapa foto yang kulihat dan itu adalah foto-foto pemandangan di
sepanjang jalan yang telah dilewati. Seketika itu dia merebut kembali SLRnya
dengan wajah yang sinis. Aku amat tak berkutik waktu itu. Dia sepertinya kesal
padaku. Aku terdiam, aku merasa amat bersalah.
“Maaf,
Mas”, ucapku. Tanpa melihat wajahnya, aku langsung berlari ke tempat dudukku.
Aku malu. Mengapa aku harus suudzon kepadanya, ditambah lagi kejadian tadi pagi
saat aku menyentaknya. Semakin ku mengingatnya, semakin ku merasa bersalah
padanya. Perjalanan masih jauh, aku belum shalat dzuhur. Biarlah, mungkin nanti
bisa diqashar. Kereta berhenti di sebuah stasiun, menunggu penumpang yang akan
segera masuk. Sesekali pengamen dan juga para pedagang masuk. Seorang anak
kecil datang menghampiri penumpang dan memberikan amplop yang bertuliskan
sesuatu.
Bapak/Ibu, mohon
kasihani kami. Kami belum makan, kami lapar. Mohon minta keikhlasannya. Semoga
amalan Bapak/Ibu diterima di sisi Allah, Amin.
Itulah
kata-kata yang tertulis di amplop itu. Hati kecil ini merenung, betapa kerasnya
kehidupan mereka. Kulihat dompetku, tak begitu banyak uang di sana. Kusisihkan
sedikit saja, mungkin dapat membantu mereka. Mereka tidak mungkin berbohong,
kalaulah memang mereka berbohong, aku yakin bahwa mereka membutuhkan uang dari
orang lain. Sungguh hatiku tersentuh melihat anak kecil itu.
Sesekali
aku melihat ke ujung kereta, duduk seorang lelaki berkaos merah tadi. Teringat
kembali rasa bersalahku tadi. Aku hanya diam. Walaupun begitu, aku masih tetap
saja ingin berdiri di dekat pintu kereta. Akupun berdiri kembali di sana, di
dekatku duduk lelaki itu. Namun dia tidak menolehku sedikitpun, dia
sepertinya marah padaku.Aku pun memakluminya bila dia bersikap
seperti itu padaku. Handphone ku bergetar, ku kira ada telepon dari ayah atau
ibu, ternyata hanya sms dari operator seluler. Aku terdiam kembali, aku lupa
tidak mengisi pulsaku, jadi aku hanya bisa menunggu telepon dari orang tuaku.
Aku
kembali merenung, melamun. Itulah kebiasaanku di waktu senggang, memikirkan
berbagai hal, memberaikan segala fantasi yang ada di benakku. Aku terkejut.
Lelaki berkaos merah itu menghampiriku dan langsung membawa handphone yang ku
pegang. Dia berlari keluar dari gerbong kereta. Aku refleks mengejarnya keluar.
Dia tersenyum. Aku kelelahan, sambil berlari aku berteriak.
“Hey kamu!
Kembalikan handphoneku! Mau kau apakan handphoneku. Heyy!”. Dia menoleh,
kemudian tersenyum kembali. “Sini saja ambil, kejar dong!”.
“Aku
cape! Kamu siapa sih! Tolong jangan ambil hp itu. Aku masih memerlukannya untuk
menghubungi keluargaku. Heeeeey!”, teriakku dengan lebih kencangnya lagi.
Dia
malah berlari semakin kencang. Apa boleh buat, akupun harus berlari dengan
kencang pula. Tapi jangan diremehkan, akupun bisa berlari dengan kencang,
maklum juara estapet se-kecamatan pada saat sd. Aku semakin sulit mengejarnya.
Aku tak tahu seberapa jauh aku berlari, yang pasti aku harus mendapatkan
handphoneku. Di suatu tempat dia berhenti. Aku menghampirinya dengan nafas yang
terengah-engah.
“Kok
berhenti! Kenapa gak lari lagi aja sih sekalian! Puas kan!” teriakku dengan
begitu kerasnya.
“Santai
aja, Mba. nih Hpnya”, ucapnya sambil tersenyum.
“Loh,
maksud kamu apa sih! Bawa hp saya, terus sekarang dikembalikan lagi. Ga ada
kerjaan ya emangnya ......”, ucapanku berhenti. Dia memegang dahuku, dan
mengarahkannya ke segala arah di sekitarku. Dia pun tersenyum. Seketika aku
berkata, “Subhanallah”.
Tanpa
aku sadari, aku telah berlari jauh dengannya hingga tiba di sebuah taman yang
penuh dengan bunga. Keadaannya yang amat bersih dan asri membuatku terkesima
tanpa batas. Aku tersenyum, terdiam, menengadah ke arah langit biru. Sungguh,
inilah salah satu keindahan atas segala kekuasaanNya yang lain. Fatahmorgana
alam yang begitu menyejukkan, jutaan warna yang berbeda, hidup membentuk sebuah
kesatuan yang begitu luar biasa. Renunganku itu membuatku lupa akan segalanya
untuk beberapa saat. Setelah itu aku teringat kembali akan suatu hal.
“Mengapa
kau membawaku kemari, Mas?” tanyaku pada lelaki berkaos merah itu.
“Sudahlah,
tak usah banyak tanya. Nikmati keindahan dari Sang Pencipta ini”, ucapnya
sambil tersenyum.Dia memegangku dan membawaku lari. Dia tertawa, akupun
tertawa. Aku tak tahu pasti mengapa aku tertawa, mungkin karena di dalam hati
kecilku tumbuh perasaan yang amat membahagiakan. Dia membawaku berlari di
sekitar taman, memetik banyak bunga yang berwarna-warni.
“Tunggu,
Mas. Saya belum shalat. Bisakah kita shalat dahulu”, ucapku.
“Astagfirullohaladzim,
saya pun lupa Mba. Baiklah kita shalat terlebih dahulu. Di sekitar sini ada
mesjid”, ucapnya dengan raut wajah yang menyejukan hati.
Kami
berjalan, melangkah di jalan yang penuh dengan pohon. Daun beguguran diterpa
angin yang bertiup dengan begitu lembutnya. Kesejukan hati ini amat dapat
kurasakan. Beberapa menit kami berjalan, kami pun tiba di sebuah mesjid.
Subhanallah, mesjid yang megah dan indah. Para jamaahnya pun banyak, ada yang
sedang membaca Al Qur’an, ada yang sedang duduk beristirahat, dan masih banyak
lagi. Kami pun shalat berjamaah di sana.
Seusai
shalat, kami berjalan-jalan kembali. Sesekali kami membeli dagangan yang ada di
sekitar taman, seperti es krim, roti bakar, dan yang lainnya. Tempat singgah
yang terakhir yaitu di bawah pohon yang amat rindang, di sebuah ayunan
sederhana, kami duduk bersama.
“Mengapa
kau mengajakku kemari?” tanyaku padanya.
“Tak
apa, aku hanya ingin merasakan bisa dekat denganmu saja”, jawabnya.
“Memangnya
mengapa? Kau tak mengenalku bukan?”, tanya ku kembali.
“Tentu
saja tidak. Tapi saat aku melihat wajahmu, sepertinya ada suatu hal yang
kurasakan. Perasaan yang tak pernah kurasakan sebelumnya”, jelasnya.
“Memangnya
perasaan apa? Kamu itu memang aneh ya”, ujarku.
“Ternyata
kamu itu bawel ya. Tapi bikin asyik juga” ucapnya tersenyum kembali.
“Maaf
ya atas perlakuanku tadi”, ucapku menyesal.
“Sudahlah,
tak usah terlalu difikirkan. Tak usah minta maaf, ekspresi wajahmu saat kau
kesal padaku bukan membuatku kesal padamu. Aku malah ingin tersenyum sendiri
bila mengingatnya”, ujarnya.
“Yah,
gausah ngegombal lah. Eh iya, aku hampir lupa. Aku kan sedang dalam perjalanan
menuju Malang. Ya Allah, tasku masih di dalam kereta. Pasti kereta telah
meninggalkanku sejak tadi! Astagfirullohal’adzim”, ucapku dengan mata yang
berkaca-kaca. Aku pun berlari meninggalkan lelaki itu. Dia memegang tanganku.
“Tak
usah terburu-buru. Kamu masih punya waktu sekitar satu jam lagi” ucapnya seakan
menghiburku.
“Satu
jam lagi? Bagaimana bisa? Kereta pasti sudah berangkat dari tadi!” ucapku
dengan nada cukup tinggi.“Memang sudah berangkat” ujarnya malah tersenyum.
“Terus,
aku gimana? Ini dimana? Bagaimana aku bisa sampai ke Malang. Ditambah lagi
barangku masih ada di kereta. Aku mau ke stasiun sekarang”.
Akupun
berlari meninggalkannya. Dia mengejarku, aku berlari lebih kencang lagi sambil
menangis. Aku takut, aku takut tak bisa sampai menuju cita-cita yang kutuju.
Lelaki berkaos merah itu berhasil mengejarku.
“Mau
kemana, Mba?” ucapnya khawatir.
“Tentu
aku mau ke stasiun. Aku mau ke Malang. Kamu siapa berani mencegahku? Kamu mau
menculikku?” teriakku padanya.
“Ya
Allah Mba. Sabarlah dulu”, ucapnya semakin khawatir.
“Maaf
Mas. Aku ketakutan”, ucapku kemudian terdiam.
“Tak
usah takut Mba. Ada Allah SWT bersama Mba”, ujarnya. Aku terdiam.
“Jangan
khawatir Mba. Barang Mba sudah saya bawa. Pemberangkatan menuju Malang akan
dimulai pukul 17.00. Tiket sudah saya pesankan. Nanti saya antarkan ke stasiun.
Untuk sekarang izinkan saya menemani Mba sebelum jadwal pemberangkatan dimulai.
Saya takut terjadi apa-apa pada Mba”, jelasnya dengan penuh perhatian.
“Benarkah?”,
ucapku. Dalam tangisku aku tersenyum. Dia sungguh lelaki yang baik. Aku tak
tahu siapa dia, tapi aku bisa merasa nyaman dengannya. Dia hanya mengangguk,
setelah itu kami berjalan-jalan kembali ke tempat yang lebih menakjubkan lagi.
Hingga akhirnya, jam menunjukan pukul 16.45. Aku harus segera ke stasiun.
“Terima
kasih ya Mba atas hari ini”, ucapnya dengan wajah yang berseri-seri.
“Justru
aku yang berterima kasih. Maaf telah merepotkanmu”, ucakpku.
Dia
tak berkata apapun, hanya tersenyum kecil. Aku berdiri di pintu kereta.
Perlahan kereta berjalan. Dia memberikan sehelai amplop, entah berisi apa.
Senyumnya melebar. Aku semakin menjauh darinya. Seketika aku lupa menanyakan
suatu hal. “Siapa namamu?” teriakku. Dia menjawab, namun tak terdengar olehku.
Yang ada hanyalah tersirat senyum manis di bibirnya yang seakan terus
mengikutiku saat di dalam kereta kemudian merasuki fikiranku. Aku melangkah
menuju kursi dekat jendela kereta. Kubuka amplop yang dia berikan. Isi dari
amplop itu adalah foto-fotoku saat berdiri di dekat pintu kereta. Ternyata
memang benar, dia mengambil foto-fotoku. Aku tersenyum. Aku bisa merasakannya,
merasakan kehangatan tangannya, lembut suaranya, dan senyuman menawan di
wajahnya.
Perjalanan
ini akan selalu kuingat, perjalanan terindah di dalam hidupku. Sejak saat itu,
aku semakin merasakan indahnya hari-hariku. Aku tak tahu dia ada dimana. Yang
pasti, untuk saat ini yang harus aku lakukan adalah menggapai cita-citaku.
menjadi kebanggaan orang tuaku dan dapat menjadi manfaat bagi orang lain. Aku
yakin, suatu saat dia akan datang kembali. Entah kapan, tinggal menunggu waktu
yang tepat dari Sang Pencipta. Inilah keyakinan hatiku. Semoga kita dapat
bertemu kembali, dengan kisah yang indah dan diridhai olehNya, semoga...
Unsur-unsur Intrinsik
1. Tema : Cinta
/ Kasih Sayang
2. Alur : Maju
Karena
peristiwa yang terjadi pada cerpen tersebut berjalan sesuai urutan waktu yang
maju tanpa adanya cerita tentang peristiwa dio waktu yang sebelumnya/ yang
pernah terjadi sebelumnya.
3. Sudut
Pandang : Orang pertama pelaku utama
Karena
tokoh yang ada pada cerpen tersebut berperan sebagai “aku” yang merupakan tokoh
utamanya.
4. Penokohan :
Adapun
tokoh serta wataknya yang terdapat pada cerpen tersebut adalah.
v Lily,
dengan watak: baik/ solehah, keras kepala, terkadang mudah marah, selalu
bersikap suudzon.
v Ibu,
dengan watak perhatian dan penyayang.
v Ayah,
dengan watak lemah lembut dan penyayang.
v Lelaki
berbaju merah, dengan watak lemah lembut, penyayang, murah senyum, sopan santun
dan romantis.
5. Latar/
setting :
a. Tempat :
v Di
kamar, sesuai dengan kutipan:
Ku terbangun dan langsung kubuka jendela
kamarku.
v Di
ruang makan, sesuai dengan kutipan:
Aku
berjalan menuju ruang makan, kulihat ibu telah menyiapkan makan sahur.
v Di
stasiun kereta, sesuai dengan kutipan:
Kereta
beberapa menit lagi berangkat. Aku berlari dengan kencangnya bersama ayahku,
membawa barang yang cukup berat. Tepat di depan pintu kereta aku berdiri.
v Di
taman bunga, sesuai dengan kutipan:
Tanpa
aku sadari, aku telah berlari jauh dengannya hingga tiba di sebuah taman yang
penuh dengan bunga.
v Di
mesjid, sesuai dengan kutipan:
Beberapa
menit kami berjalan, kami pun tiba di sebuah mesjid.
v Di
bawah pohon, sesuai dengan kutipan:
Tempat
singgah yang terakhir yaitu di bawah pohon yang amat rindang, di sebuah ayunan
sederhana, kami duduk bersama.
b. Waktu
v Dini
hari, sesuai dengan kutipan:
Mataku
sedikit terbuka, pertanda mimpi indah malam ini telah usai. Jam menunjukkan
pukul 03.00.
v Pagi
hari, sesuai dengan kutipan:
Di
pagi hari yang cerah, pemandangan yang indah tentu sudah sangat cukup untuk
menyegarkan penglihatan ini.
v Siang
hari, berdasarkan kutipan:
Perjalanan
masih jauh, aku belum shalat dzuhur. Biarlah, mungkin nanti bisa diqashar.
v Sore
hari, berdasarkan kutipan:
Hingga
akhirnya, jam menunjukan pukul 16.45. Aku harus segera ke stasiun.
c. Suasana
v Sunyi, sesuai
dengan kutipan:
Di
kesunyian, alarm berbunyi. Teralunkan musik merdu, terdengar bersemangat
berjudul Sang Pemimpi.
v Nyaman,
sesuai dengan kutipan:
Asri,
indah nan permai. Inilah salah satu tanda kekuasaanNya. Sesekali ku beranjak
dari tempat dudukku, melangkah menuju pintu kereta. Angin berhembus, menerpa
hijab biru mudaku, menggerakkan bibirku hingga akhirnya dapat tersenyum
refleks, tanpa sadar. Di depan mataku terlihat sawah yang terhampar luas.
Langit biru, bersama para awan dan juga burung yang beterbangan semakin
memperindah suasana ini.
v Indah,
menakjubkan, sesuai dengan kutipan:
Aku
tersenyum, terdiam, menengadah ke arah langit biru. Sungguh, inilah salah satu
keindahan atas segala kekuasaanNya yang lain. Fatahmorgana alam yang begitu
menyejukkan, jutaan warna yang berbeda, hidup membentuk sebuah kesatuan yang
begitu luar biasa. Renunganku itu membuatku lupa akan segalanya untuk beberapa
saat.
v Ramai, sesuai
dengan kutipan:
Subhanallah,
mesjid yang megah dan indah. Para jamaahnya pun banyak, ada yang sedang membaca
Al Qur’an, ada yang sedang duduk beristirahat, dan masih banyak lagi.
6. Gaya
bahasa : hiperbola
7. Amanat :
v Jangan
berprasangka buruk terlebih dahulu kepada orang lain sebelum kita mengetahui
kebenaran yang sebenarnya dari orang tersebut.
Dalam
cerita ini diceritakan, Lily merasa bahwa lelaki berkaos merah itu orang yang
angkuh akan tetapi setelah dekat dengan laki-laki tersebut, barulah dia merasa
bersalah karena prasangka buruknya itu ternyata salah.
v Jangan
mudah marah kepada seseorang.
Diceritakan
pada cerpen tersebut bahwa Lily selalu mudah marah kepada lelaki yang ia temui
di kereta. Pada akhirnya, kemarahan hanya dapat membuatnya merasa malu dan
merasa bersalah.
v Syukuri
segala kekuasaan yang telah diberikan oleh Allah.
Di
dalam cerpen tersebut mengingatkan kita akan kekuasaan Allah yang ada di bumi.
Kita harus bisa menyukurinya karena kekuasaan itu merupakan suatu keindahan
yang dapat kita rasakan secara langsung.
v Urusan
cinta, hanya Allah yang tahu. Kita tidak tahu kapan cinta itu
akan datang, namun kita harus percaya bahwa suatu saat Allah akan menunjukan
jalanNya yang indah dalam menunjukan cinta itu. Tinggal keyakinan dan kesabaran
yang harus dimiliki.
Dalam
cerpen tersebut, di akhir cerita tersirat bahwa Lily pada akhirnya harus
berpisah dengan sseorang yang dikaguminya. Walaupun begitu, dia yakin bahwa
suatu saat cinta itu akan datang kembali. Yang penting, cita-cita dan
mimpi-mimpi indah kita harus bisa kita capai.
Unsur-unsur Ekstrinsik
1. Nilai
yang terkandung pada cerpen
v Nilai
sosial
Interaksi
atau komunikasi harus bisa dilakukan dengan baik agar tidak ada kesalahfahaman,
contohnya yaitu yang diami oleh Lily dan lelaki berkaos merah yang beberapa
kali mengalami kesalahfahaman.
v Nilai
agama
Rasa
suudzon seharusnya dihilangkan terlebih dahulu bila memang tidak mengetahui
kenyataannya. Suudzon ini telah terjadi pada cerpen di atas yaitu dari Lily ke
lelaki berkaos merah
v Nilai
moral
Bersikap
sopan sudah menjadi salah satu norma yang berlaku di lingkungan yang
diceritakan pada cerpen. Salah satu contohnya yaitu berkata dengan lemah lembut
dan selalu tersenyum
2. Lingkungan
pengarang
Sesuai
dengan cerpen yang ditulis pengarang, kemungkinan keadaan lingkungan dari
pengarang yaitu kehidupan yang religius, penuh norma dan sopan santun, serta
kehidupan yang indah dengan suasananya.
3. Identitas
pengarang
Cerpen “Perjalanan Terindah” ini disusun oleh seorang
pelajar asal Garut yang bernama Zulfa Fadila. Lahir di Garut tanggal 27 Oktober
1996 dari sepasang orang tua yang bernama Drs. Agus Juanda dan Ika Supartika.
Zulfa merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara. Saat ini masih menjalani
pendidikan di SMAN 2 Garut semester akhir. Zulfa merupakan alumni dari SMPN 1
Leles, SDN Leles 1 dan TK Pelita.
Zulfa bukan seorang penulis pada umumnya, dia hanya
pelajar biasa. Hanya saja menulis sudah mulai menjadi hobinya saat di SMA,
namun tidak begitu diperdalam. Zulfa hanya menyalurkan hobinya melalui
cerita-cerita pendek yang ditulis pada entri blognya yang berjudul “Sebening
Ketulusan Hati”. Dia aktif di beberapa organisasi di SMA namun tidak mempunyai
prestasi yang begitu banyak. Harapannya untuk saat ini yaitu bisa melewati masa
transisinya di kelas XII SMA, bisa melaksanakan UN dengan sukses, serta bisa
diterima di perguruan tinggi negeri favoritnya yaitu di ITB jurusan teknik
fisika. Untuk saat ini, dia belum bisa meneruskan posting atau berbagi cerita
yang lainnya karena fokus akan tujuan jangka pendeknya saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar